10/12/14

Terimakasih Bapak, Engkaulah Pahlawan di Hati Kami Semua



Image source

Saat itu yang kuingat aku masih berumur 10 tahun (tahun 2000) saat Bapak dipanggil yang Kuasa. Pagi- pagi benar kudengar berita itu yang seolah berhasil meruntuhkan semua sendi- sendiku. Yang kuingat, saat itu Bapak sedang sakit. Malam sebelumnya bahkan Mama dan Papa menjaga beliau di salah satu rumah sakit di Sleman.

Ah, kuingat bagaimana aku menangis terus setelah aku mendengar berita dari Mama bahwa Bapak telah tiada. Menangis dari rumah, sepanjang jalan, bahkan sampai Bapak dikebumikan. Hatiku pilu. Aku, kami semua ditinggalkan Bapak dengan tanpa kita duga. Yang kuingat, Mama dan Papa menghibur- hibur hatiku dengan mengatakan, " Nduk, Bapak wis tenang kok. Ojo ditangisi yo nduk. Bapak wis bahagia disana." Bagaimana reaksiku? Aku tetap menangis kala itu. Aku, Ibu, Mba Lulu, adalah 3 wanita yang terus mengeluarkan airmata dengan derasnya. Apa aku menolak dan menyalahkan takdir? Buka. Bukan seperti itu yang kurasakan. Yang kurasakan sebagai anak berusia 10 tahun ialah hanya kehilangan. Itu saja.

*******

Saat SD setiap Sabtu pulang sekolah atau sore hari, Papa selalu mengantarkanku dan adik ke Turi, Sleman. Turi adalah sebuah kecamatan di Sleman yang sejuk karena terletak dekat dengan Gunung Merapi. Disanalah, di rumah Bapak, kami (aku dan adik) akan menginap sampai hari Minggu sore. Saat itu kami dijemput kembali oleh Papa karena hari Senin kami sekolah lagi.

Setiap kami menginap, banyak hal yang kami lakukan. Mulai dari bermain badminton dengan om Teo, om saya yang seumur dengan adik saya. Kemudian ikut Bapak ke sawah atau ke kebun salak untuk memetik salak, bantu (baca:ganggu) Ibu masak di dapur, ikut ke kios Ibu (Ibu punya warung makan di dekat lapangan Turi), sampai belajar apa saja sama Bapak.

Ya, belajar apa saja. Setiap kami punya PR dari sekolah pun, selalu kami bawa ke Turi. Bapak itu cerdas. Beliau selalu membantu kami menyelesaikan tugas sekolah kami. Dan yang paling kuingat, jika ada PR menggambar, Bapak selalu yang menggambarkan untukku. Bukannya aku malas mengerjakan PR. Hanya PR menggambar saja yang membuatku menyerah dan mengangkat tangan. Mengapa? Karena aku tak pandai menggambar. Sedangkan gambar hasil karya Bapak itu selalu saja bagus dan yang kunilaikan pada guru. Pssstt, jangan bilang kepada Guru menggambarku ya...

Bapak itu cerdas. Beliau tahu banyak hal. Pengetahuan beliau luas. Yang paling membuatku, adik, dan om Teo senang ialah saat Bapak bercerita tentang dunia wayang. Semua cerita tentang pewayangan, Bapak selalu tahu. Dan yang paling membuat kami senang juga ialah cara Bapak membawakan cerita tersebut. Bapak bercerita dengan gaya yang khas, suara beliau selalu berbeda untuk setiap tokoh wayang yang beliau ceritakan. Hal itu membuat kami begitu menghayati kisah yang Bapak ceritakan serta imajinasi kami bertumbuh dan berkembang dengan baiknya.

Bapak ialah pribadi yang cerdas. Bapak tahu semua jenjang kepangkatan ABRI (TNI- Polri). Bahkan setiap kali kami menginap, saya selalu menanyakan urutan jenjang kepangkatan itu, padahal sudah sering Bapak jelaskan. Entahlah, aku selalu lemot jika mengingat urutannya. Namun Bapak tak pernah bosan menjelaskan padaku, dan tak pernah marah jika harus menjelaskan berulang kali. Bapak juga tidak pernah marah jika kami selalu memainkan perut Bapak dan selalu membayangkan jika itu hamburger.

Bapak juga pribadi yang bijaksana. Jika aku, adik, dan om Teo berantem (maklum, kami masih kecil), Bapak tak pernah memarahi kami. Kami dilerai dan disayang. Tak pernah sekalipun cubitan atau pukulan mampir di badan kami. Tak pernah. Karena Bapak seorang yang amat penyayang. Begitulah. Segala apa yang diajarkan Bapak saat kami kecil, terbawa sampai kami dewasa.

Banyak, banyak hal indah jika itu semua tentang Bapak. Banyak yang ingin aku ceritakan dan gambarkan mengenai Bapak. Intinya Bapak itu lembut hatinya, penyayang, orangtua yang bijaksana, dan cerdas. Mengapa selalu Bapak yang aku ceritakan? Bukan karena kami tidak sayang Ibu ya. Kami memang lebih dekat ke Bapak. 

 *******

Kepergian Bapak membuatku terpukul. Siapa lagi yang akan bercerita tentang wayang. Siapa lagi yang akan mengeloniku dan menidurkanku dengan lullaby tembang Jawa. Siapa lagi yang akan akan mengelus kepalaku lembut. Siapa lagi yang akan merindukanku jika aku tak datang menginap dan menjenguk Bapak di Turi. Aku, adik, Ibu, Papa, Mama, om Teo, mba Lulu, mba Vivi, Om Pipit, Om Yoyok, Om Yoyon, dan semua keluarga besar kami, sangat kehilangan Bapak. Setiap dari kami punya kenangan indah tersendiri dengan Bapak.

Kalau boleh aku merasa, mungkin aku yang paling kehilangan Bapak saat itu. Mengapa? Karena Bapak telah merawat dan mendidikku sedari aku masih bayi  Bapak dan Ibu lah yang cukup lama mengasuhku, kira- kira sampai aku berusia dua tahun.

Mungkin pembaca sekalian bertanya- tanya, siapa Bapak dan Ibu itu?

Bapak dan Ibu tak lain dan tak bukan adalah Kakek dan Nenekku. Sedangkan Papa dan Mama adalah orangtua kandungku. Aku diasuh Bapak dan Ibu bukan tanpa alasan. Saat itu Papa bekerja dan Mama kuliah. Jadi praktis setiap pagi sampai siang/sore, aku tidak ada yang mengasuh. Maka Bapak dan Ibu berinisiatif membawaku ke Turi dan mengasuhku. Mengapa harus di bawa ke Turi? Karena jarak Turi, Sleman dan Gunung Sempu, Kasihan, Bantul itu jauh sekali. Jadi tak mungkin jika Bapak Ibu atau Papa Mama harus nglaju setiap harinya. Jadi, panggilan Bapak dan Ibu (bukan Kakek Nenek) itu bukan tanpa alasan. Karena Bapak Ibu bisa dikatakan juga sebagai orangtua keduaku.

Bapak adalah purnawirawan TNI AU, atau dikenal dengan AURI kala itu. Sedangkan Ibu dulunya adalah perawat di rumah sakit AURI dan setelah pensiun Ibu membuka warung makan di dekat rumah, di Turi. Bapak yang berpindah- pindah tugas saat masih di AURI membuat Papaku (Papa adalah anak pertama) lahir di Pekanbaru dan pernah bersekolah di Kupang, NTT. Jadi tak heran, jika Bapak dan Papa kukagumi karena pengetahuannya yang luas.

Aku adalah cucu pertama di keluarga Bapak Ibu. Itulah mengapa Bapak dan Ibu sayang sekali denganku. Namun tak lama berselang (2 tahun kurang dari kelahiranku), adikku lahir ke dunia, 3 bulan setelah kelahiran Om Teo. Bertambah pulalah kebahagiaan Papa Mama dan Bapak Ibu. Om Teo adalah adik Papa yang paling bontot (hanya berselisih umur 3 bulan dengan adikku). Jadi aku, adik, dan Om Teo bisa dikatakan sebaya.

Begitulah kisahku bersama Bapak. Meski 14 tahun sudah Bapak meninggalkan kami, namun kenangannya tetap hidup di hati dan pikiran kami. Semoga kami selalu meneladani segala yang baik yang ada pada diri Bapak. Do'akan Bapak juga ya pembaca, semoga Bapak dilapangkan kuburnya dan tersenyum bahagia di sana. Aamiin. :)




Share to

Facebook Google+ Twitter Digg

0 komentar:

 

Delicious Cupcakes Copyright © 2009 Designed by Ipietoon Blogger Template In collaboration with fifa
and web hosting